Hari itu sungguh melelahkan bagiku, betapa tidak
bertumpuk-tumbuk pekerjaan mengantri di meja kantorku. Kucoba menyelesaikan
lembar demi lembar, hingga deru nafasku bertambah cepat bak seorang sprinter
berlomba dengan lawan-lawannya. Akhirnya jemariku menyelesaikan lembar terakhir
kertas kuning tumpukan paling bawah, kemudian kututup pula laptop hitam merk
terkenal didepanku. Nyerinya ujung-ujung jari dan pedihnya mata terbayar sudah
dengan terselesaikannya pekerjan hari ini. Rasa puas seolah sudah melakukan
pekerjaan dengan paling sempurna, padahal jika ada orang yang sanggup meneliti
rangkaian kata-kata yang telah aku buat, pasti akan mendapatkan berbagai
kalimat yang terkesan lucu dan tidak pas. Biarlah apapun hasilnya, yang penting
aku sudah melaksanakan tanggung jawabku terhadap kantor.
Sambil memijit ruas-ruas jari tangan, kucoba melakukan
rutinitas untuk menguap. Memang tidaklah karena aku mengantuk namun entah
mengapa kebiasaan itu serasa membuat rasa penat ikut terbang bebas ke luar
tubuh. Saat berikutnya kursi kantor yang setia menopang berat tubuhku sehari-hari
kuputar. Suara gemericit kursi tak membuat membuat teman-teman beranjak. Kulangkahkan
kaki menuju balkon untuk sekedar mengintip suasana diluar kantor. Awan hitam berkejar-kejaran
berlomba membendung sinar matahari yang sudah mencapai ketuaannya. Rasa
khawatir menyelimuti jiwaku, saat teringat rencanaku dan dua rekanku berkunjung
di kota di ujung barat Jawa Timur, Pacitan.
Tak berapa lama petir unjuk gigi bersama kilat yang menyambar
berulang kali. Angin menderu-deru mengerikan, seolah tak mau ketinggalan
mengepung Kota Surabaya. Semakin gelap sore itu, padahal jam masih menunjukkan
15.30 WIB. Hujan yang turun mulai menggila, menambah khawatir penduduk kota nan
bersih ini. Aku mencoba berdoa dan berharap Tuhan memberikan belas kasihan Nya
dengan menghentikan badai ini, minimal mengurangi dahsyatnya hujan dan petir
pikirku. Namun apalah daya doa orang yang penuh dosa ini. Seolah tetap menikmati
santapannya, petir menggelegar, hujan semakin tajam menghujam bumi hingga
genangan air mulai memenuhi jalan-jalan di Surabaya.
Tak ada pilihan lain, akhirnya aku dan dua temenku memutuskan
untuk tetap berangkat menggunakan mobil minibus yang sengaja kami sewa sehari
sebelumnya. Walaupun air yang menggenang semakin tinggi, mobil yang kami
tumpangi melaju dengan kencang. Kami sempat berfikir, jika sekarang berangkat
maka jalanan yang biasanya penuh sesak bisa kosong karena banyak orang yang
lebih senang berteduh untuk berlindung dari angin yang menari-tari
mengibas-kibas dengan sombongnya dan congkaknya air yang tak henti-henti
menerjang bumi. Ternyata pikiran kami seratus persen keliru. Selepas
meninggalkan Kota Surabaya laju mobil perlahan-lahan tersendat oleh padatnya
antrian mobil yang mengular sepanjang jalan. Di kanan dan kiri jalan dipenuhi
oleh pepohonan yang tak kuasa menerima hempasan angin dan hujan. Rasa takut
semakin menjalar memenuhi sekujur badan kami. Semoga tidak terjadi hal-hal yang
sangat tidak kami inginkan, dan kami selamat sampai kami kembali di kota tercinta
ini. Mulut kami tak henti-hentinya memohon dan menghiba kepada Tuhan.
Tiga jam sudah kami menunggu giliran untuk melintas jalanan
padat ini, tepat diujung belokan kami lihat seonggok kayu dan dahan yang
menghalangi separo jalan, hingga menghalangi laju mobil untuk melintas. Bak
polisi sombong yang mengharuskan mobil-mobil berjalan dengan sabar dan pelan.
Tanpa deru klakson yang biasanya memekakkan telinga saat menelusuri jalanan di
Kota Surabaya, akhirnya kami terbebas dari cengkeraman macetnya jalanan. Sudah
hal yang biasanya jika Pak Agung selalu menancapkan pedal gas untuk menebus
waktu kami yang telah hilang akibat jalanan macet. Pak agung adalah pemilik
persewaan mobil langganan kami yang sekaligus menjadi sopir.
Setelah mampir sebentar di mini market pinggir jalan untu
membeli sedikit perbekalan selama di perjalanan., kami melanjutkan perjalanan.
Rasa kantuk mulai menggelitiki mata-mata kami, rasa lelah emakin menambah
keinginan untuk segera terlelap. Kami memosisikan tubuh kami sekenanya, kadang
miring, kadang kepala kami sandarkan kesamping bahkan kadang kaki-kaki kami
angkat di atas jok. Betapapun kami menahan kantuk, akhirnya tak kuasa juga
untuk menahannya. Akhirnya kami bertiga dikuasai oleh mimpi-mimpi kami, sampai
pada suatu saat mobil mendadak berhenti. Kubuka mata yang sudah mulai ditumbuhi
kotoran-kotoran di sudut kelopak. Setelah membersihkan mata ala kadarnya, aku
keluar mobil. Seperti pesan kami saat kami berangkat, mampir di pecel Bu Endang
Madiun untuk makan malam. Warung kaki lima di pinggir jalan itu ramai dipenuhi
pembeli. Kagum aku dibuat oleh ramahnya dua orang ibu yang masih cekatan melayani
kami. memang warung-warung pecel di Kota Madiun sengaja buka malam untuk
melayani pelanggan setianya yang ingin memanjakan lidah pada malam hari.
Saat perut-perut kami tidak lagi menangis, dan sudah mau
untuk diajak kompromi, kami melanjutkan perjalanan kami. jika sesuai hitungan
maka kami akan sampai di Pacitan pada pukul 03.00 WIB dini hari, karena saat
ini jarum pendek dan panjang jam tangan kesayanganku menunjukan angka 12.00.
Perut kenyang membuat kami semakin cepat untuk menuju ke alam mimpi. Serasa baru
beberapa menit kami memejamkan mata, tiba-tiba tubuh-tubuh kami terasa
terbanting ke depan karena pedal rem mobil di injak oleh Pak Agung. Kami
bertiga sempat bingung ketika kami membuka mata, takut terjadi apa-apa dengan
mobil kami. Ternyata kami sudah sampai didepan hotel yang kami pesan dua hari
yang lalu.
Aku sempat bersyukur karena tertidur pulas saat melewati
kelak-kelok jalan menjelang Kota Pacitan. Kelak-kelok jalan ini sangat terkenal
dengan kelokan mabok, tidak sedikit orang yang lewat jalan ini mabok darat
dibuatnya. Pernah suatu ketika aku dibuat mual dan memuntahkan isi perut saat melewati
jalan ini tahun lalu.
Lengketnya keringat disertai bau kurang sedap membuat kami
ingin buru-buru masuk kamar dan membersihkan badan. Kamar yang kami pesan cukup
mewah dan bagus untuk daerah Pacitan dan sekitarnya. Segera aku masuk kamar 117
yang cukup bersih dan melepaskan pakaian untuk membersihkan diri. Setelah
merasa cukup bersih kurebahkan badan ke atas kasur empuk dengan cover bed warna putih, Kuluruskan kaki
dan badanku, tidak sampai sepuluh menit aku telah terjerumus kembali kedalam dunia
yang pasti akan membuat fresh. Samar-samar di kejauhan terdengar
seseorang mengetuk kamar, beberapa kali ketukan itu terdengar, namun sebanyak
itu pula aku mengabaikannya. Beberapa saat kemudian terdengar suara yang sama,
kali ini aku sudah tidak mungkin lagi menolak. Aku melompat dari tempat tidur
dan membuka pintu, Ya Tuhan… ternyata pegawai hotel mengantarkan sarapan. Malu aku
dibuatnya. Sambil mengucapkan permintaan maaf aku terima satu nampan teh hangat
dan nasi rawon.
Aku bergegas untuk menunaikan kewajibanku kepada Sang Pemberi
Hidup, setelah ambil air wudlu aku sholat dan menikmati hidangan dari hotel. Lumayan
untuk mengisi perut yang sudah mulai marah-marah ingin dimanja oleh makanan.
Selesai sarapan, kami beranjak melanjutkan menelusuri ujung barat provinsi
paling timur di Pulau Jawa ini. Menikmati lorong-lorong jalan dan menghirup
segarnya kota yang masih jauh dari polusi ini. Siang hari kami berangkat menuju
Pantai Klayar, melewati jalanan searah dengan Kota Solo. Kira-kira dua kilo
dari batas Kota Pacitan muncul dihadapan kami penunjuk arah warna hijau di
pinggir jalan “belok kiri Pantai Klayar”. Gelak tawa memenuhi mobil, menemani
sepanjang jalan.
Namun lama-lama jalan yang kami lewati semakin mengecil
dengan aspal yang sudah rusak. Sempat kami hampir patah arang untuk
menghentikan perjalanan, berkali-kali kami bertanya dengan orang yang kami
temui. Sungguh jawaban aneh, yang kami dapati. Orang pertama yang kami Tanya menjawab
jarak ke Pantai Klayar tinggal 10 kilo meter lagi. Namun setelah kami melewati
tebing, tanjakan dan turunan tajam nyali kami ciut lagi untuk melanjutkan.
Bapak tua yang kami jumpai berikutnya menyatakan jaraknya 15 kilo meter lagi.
Berarti kami berjalan semakin menjauh dari Pantai Klayar. Niat kami untuk berbalik
arah muncul kembali, namun satu dari temen kami punya usul lain, untuk tetap
melanjutkan perjalanan karena sudah lebih dari setengah jarak yang kita tempuh.
Seteleh berpuluh orang yang kita Tanya dan berpuluh tanjakan
dan turunan dengan tebing curam dikanan dan kiri kami, akhirnya sampailah kami
di persimpangan jalan dengan tulisan “Pantai Klayar ke kiri 2 km”. Kami
bersorak seperti anak kecil yang diberi hadiah ulang tahun oleh orang tuanya.
Tanpa komando Pak Agung berbelok ke kiri dan memacu mobilnya semakin cepat.
Tepat 2 kilo meter, kami melewati pintu masuk pantai. Setelah
membayar Rp.3000,00 per orang kami masuk kembali ke dalam mobil. Belum sempat
posisi duduk kami benahi, didepan sudah terlihat hamparan pantai dengan
pemandangan nan indah. Subhaanallah,
rasa lelah ini mendadak hilang dan
tergantikan dengan takjub akan karunia-Nya. Dari kejauhan terlihat birunya air,
di pinggir berdiri dinding karang yang berdiri kokoh dengan ukiran unik yang
menakjubkan, pohon nyiur menambah indahnya pantai ini. Belum sempat mobil parkir
dengan sempurna, kami buru buru semburat keluar dari mobil untuk segera
menikmati indahnya anugerah Tuhan ini. Tarian ombak yang menderu membuat
suasana pantai ini semakin angkuh namun eksotik. Di satu sudut pantai berdiri
dua karang terjang yang berdiri angkuh, sudut pantai yang lain menggambarkan
pahatan dinding karang oleh tempaan
ombak hingga muncul lukisan yang tak bisa dihargai dengan uang. Pasir di
sepanjang garis pantai yang putih membuat pengunjung tak segan untuk tidur
diatasnya.
Perilaku narsis kami yang selalu muncul tak ketinggalan eksis
kembali. Secara bergantian kami merekam momen ini dengan kamera handphone
masing-masing. Bak peragawan dan peragawati di catwalk, kami ber-pose
dengan berbagai gaya. Senyum sumringah menghiasi bibir, baju lusuh, keringat
mengucur deras sudah tidak terpikirkan lagi, yang penting gaya….
Puas sudah kami menikmati pesona pantai ini, akhirnya kami
kembali ke Kota Surabaya dengan selamat. Terimakasih Tuhan, Kau telah
anugrahkan umat Mu berbagai kenikmatan dunia. Inilah oleh-olah dari Pacitan.