Sabtu, 15 Maret 2014

OLEH-OLEH DARI PACITAN "PANTAI KLAYAR"

Hari itu sungguh melelahkan bagiku, betapa tidak bertumpuk-tumbuk pekerjaan mengantri di meja kantorku. Kucoba menyelesaikan lembar demi lembar, hingga deru nafasku bertambah cepat bak seorang sprinter berlomba dengan lawan-lawannya. Akhirnya jemariku menyelesaikan lembar terakhir kertas kuning tumpukan paling bawah, kemudian kututup pula laptop hitam merk terkenal didepanku. Nyerinya ujung-ujung jari dan pedihnya mata terbayar sudah dengan terselesaikannya pekerjan hari ini. Rasa puas seolah sudah melakukan pekerjaan dengan paling sempurna, padahal jika ada orang yang sanggup meneliti rangkaian kata-kata yang telah aku buat, pasti akan mendapatkan berbagai kalimat yang terkesan lucu dan tidak pas. Biarlah apapun hasilnya, yang penting aku sudah melaksanakan tanggung jawabku terhadap kantor.

Sambil memijit ruas-ruas jari tangan, kucoba melakukan rutinitas untuk menguap. Memang tidaklah karena aku mengantuk namun entah mengapa kebiasaan itu serasa membuat rasa penat ikut terbang bebas ke luar tubuh. Saat berikutnya kursi kantor yang setia menopang berat tubuhku sehari-hari kuputar. Suara gemericit kursi tak membuat membuat teman-teman beranjak. Kulangkahkan kaki menuju balkon untuk sekedar mengintip suasana diluar kantor. Awan hitam berkejar-kejaran berlomba membendung sinar matahari yang sudah mencapai ketuaannya. Rasa khawatir menyelimuti jiwaku, saat teringat rencanaku dan dua rekanku berkunjung di kota di ujung barat Jawa Timur, Pacitan.

Tak berapa lama petir unjuk gigi bersama kilat yang menyambar berulang kali. Angin menderu-deru mengerikan, seolah tak mau ketinggalan mengepung Kota Surabaya. Semakin gelap sore itu, padahal jam masih menunjukkan 15.30 WIB. Hujan yang turun mulai menggila, menambah khawatir penduduk kota nan bersih ini. Aku mencoba berdoa dan berharap Tuhan memberikan belas kasihan Nya dengan menghentikan badai ini, minimal mengurangi dahsyatnya hujan dan petir pikirku. Namun apalah daya doa orang yang penuh dosa ini. Seolah tetap menikmati santapannya, petir menggelegar, hujan semakin tajam menghujam bumi hingga genangan air mulai memenuhi jalan-jalan di Surabaya.

Tak ada pilihan lain, akhirnya aku dan dua temenku memutuskan untuk tetap berangkat menggunakan mobil minibus yang sengaja kami sewa sehari sebelumnya. Walaupun air yang menggenang semakin tinggi, mobil yang kami tumpangi melaju dengan kencang. Kami sempat berfikir, jika sekarang berangkat maka jalanan yang biasanya penuh sesak bisa kosong karena banyak orang yang lebih senang berteduh untuk berlindung dari angin yang menari-tari mengibas-kibas dengan sombongnya dan congkaknya air yang tak henti-henti menerjang bumi. Ternyata pikiran kami seratus persen keliru. Selepas meninggalkan Kota Surabaya laju mobil perlahan-lahan tersendat oleh padatnya antrian mobil yang mengular sepanjang jalan. Di kanan dan kiri jalan dipenuhi oleh pepohonan yang tak kuasa menerima hempasan angin dan hujan. Rasa takut semakin menjalar memenuhi sekujur badan kami. Semoga tidak terjadi hal-hal yang sangat tidak kami inginkan, dan kami selamat sampai kami kembali di kota tercinta ini. Mulut kami tak henti-hentinya memohon dan menghiba kepada Tuhan.

Tiga jam sudah kami menunggu giliran untuk melintas jalanan padat ini, tepat diujung belokan kami lihat seonggok kayu dan dahan yang menghalangi separo jalan, hingga menghalangi laju mobil untuk melintas. Bak polisi sombong yang mengharuskan mobil-mobil berjalan dengan sabar dan pelan. Tanpa deru klakson yang biasanya memekakkan telinga saat menelusuri jalanan di Kota Surabaya, akhirnya kami terbebas dari cengkeraman macetnya jalanan. Sudah hal yang biasanya jika Pak Agung selalu menancapkan pedal gas untuk menebus waktu kami yang telah hilang akibat jalanan macet. Pak agung adalah pemilik persewaan mobil langganan kami yang sekaligus menjadi sopir.

Setelah mampir sebentar di mini market pinggir jalan untu membeli sedikit perbekalan selama di perjalanan., kami melanjutkan perjalanan. Rasa kantuk mulai menggelitiki mata-mata kami, rasa lelah emakin menambah keinginan untuk segera terlelap. Kami memosisikan tubuh kami sekenanya, kadang miring, kadang kepala kami sandarkan kesamping bahkan kadang kaki-kaki kami angkat di atas jok. Betapapun kami menahan kantuk, akhirnya tak kuasa juga untuk menahannya. Akhirnya kami bertiga dikuasai oleh mimpi-mimpi kami, sampai pada suatu saat mobil mendadak berhenti. Kubuka mata yang sudah mulai ditumbuhi kotoran-kotoran di sudut kelopak. Setelah membersihkan mata ala kadarnya, aku keluar mobil. Seperti pesan kami saat kami berangkat, mampir di pecel Bu Endang Madiun untuk makan malam. Warung kaki lima di pinggir jalan itu ramai dipenuhi pembeli. Kagum aku dibuat oleh ramahnya dua orang ibu yang masih cekatan melayani kami. memang warung-warung pecel di Kota Madiun sengaja buka malam untuk melayani pelanggan setianya yang ingin memanjakan lidah pada malam hari.

Saat perut-perut kami tidak lagi menangis, dan sudah mau untuk diajak kompromi, kami melanjutkan perjalanan kami. jika sesuai hitungan maka kami akan sampai di Pacitan pada pukul 03.00 WIB dini hari, karena saat ini jarum pendek dan panjang jam tangan kesayanganku menunjukan angka 12.00. Perut kenyang membuat kami semakin cepat untuk menuju ke alam mimpi. Serasa baru beberapa menit kami memejamkan mata, tiba-tiba tubuh-tubuh kami terasa terbanting ke depan karena pedal rem mobil di injak oleh Pak Agung. Kami bertiga sempat bingung ketika kami membuka mata, takut terjadi apa-apa dengan mobil kami. Ternyata kami sudah sampai didepan hotel yang kami pesan dua hari yang lalu.

Aku sempat bersyukur karena tertidur pulas saat melewati kelak-kelok jalan menjelang Kota Pacitan. Kelak-kelok jalan ini sangat terkenal dengan kelokan mabok, tidak sedikit orang yang lewat jalan ini mabok darat dibuatnya. Pernah suatu ketika aku dibuat mual dan memuntahkan isi perut saat melewati jalan ini tahun lalu.

Lengketnya keringat disertai bau kurang sedap membuat kami ingin buru-buru masuk kamar dan membersihkan badan. Kamar yang kami pesan cukup mewah dan bagus untuk daerah Pacitan dan sekitarnya. Segera aku masuk kamar 117 yang cukup bersih dan melepaskan pakaian untuk membersihkan diri. Setelah merasa cukup bersih kurebahkan badan ke atas kasur empuk dengan cover bed warna putih, Kuluruskan kaki dan badanku, tidak sampai sepuluh menit aku telah terjerumus kembali kedalam dunia yang pasti akan membuat  fresh. Samar-samar di kejauhan terdengar seseorang mengetuk kamar, beberapa kali ketukan itu terdengar, namun sebanyak itu pula aku mengabaikannya. Beberapa saat kemudian terdengar suara yang sama, kali ini aku sudah tidak mungkin lagi menolak. Aku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu, Ya Tuhan… ternyata pegawai hotel mengantarkan sarapan. Malu aku dibuatnya. Sambil mengucapkan permintaan maaf aku terima satu nampan teh hangat dan nasi rawon.

Aku bergegas untuk menunaikan kewajibanku kepada Sang Pemberi Hidup, setelah ambil air wudlu aku sholat dan menikmati hidangan dari hotel. Lumayan untuk mengisi perut yang sudah mulai marah-marah ingin dimanja oleh makanan. Selesai sarapan, kami beranjak melanjutkan menelusuri ujung barat provinsi paling timur di Pulau Jawa ini. Menikmati lorong-lorong jalan dan menghirup segarnya kota yang masih jauh dari polusi ini. Siang hari kami berangkat menuju Pantai Klayar, melewati jalanan searah dengan Kota Solo. Kira-kira dua kilo dari batas Kota Pacitan muncul dihadapan kami penunjuk arah warna hijau di pinggir jalan “belok kiri Pantai Klayar”. Gelak tawa memenuhi mobil, menemani sepanjang jalan.

Namun lama-lama jalan yang kami lewati semakin mengecil dengan aspal yang sudah rusak. Sempat kami hampir patah arang untuk menghentikan perjalanan, berkali-kali kami bertanya dengan orang yang kami temui. Sungguh jawaban aneh, yang kami dapati. Orang pertama yang kami Tanya menjawab jarak ke Pantai Klayar tinggal 10 kilo meter lagi. Namun setelah kami melewati tebing, tanjakan dan turunan tajam nyali kami ciut lagi untuk melanjutkan. Bapak tua yang kami jumpai berikutnya menyatakan jaraknya 15 kilo meter lagi. Berarti kami berjalan semakin menjauh dari Pantai Klayar. Niat kami untuk berbalik arah muncul kembali, namun satu dari temen kami punya usul lain, untuk tetap melanjutkan perjalanan karena sudah lebih dari setengah jarak yang kita tempuh.

Seteleh berpuluh orang yang kita Tanya dan berpuluh tanjakan dan turunan dengan tebing curam dikanan dan kiri kami, akhirnya sampailah kami di persimpangan jalan dengan tulisan “Pantai Klayar ke kiri 2 km”. Kami bersorak seperti anak kecil yang diberi hadiah ulang tahun oleh orang tuanya. Tanpa komando Pak Agung berbelok ke kiri dan memacu mobilnya semakin cepat.

Tepat 2 kilo meter, kami melewati pintu masuk pantai. Setelah membayar Rp.3000,00 per orang kami masuk kembali ke dalam mobil. Belum sempat posisi duduk kami benahi, didepan sudah terlihat hamparan pantai dengan pemandangan nan indah. Subhaanallah, rasa lelah ini mendadak  hilang dan tergantikan dengan takjub akan karunia-Nya. Dari kejauhan terlihat birunya air, di pinggir berdiri dinding karang yang berdiri kokoh dengan ukiran unik yang menakjubkan, pohon nyiur menambah indahnya pantai ini. Belum sempat mobil parkir dengan sempurna, kami buru buru semburat keluar dari mobil untuk segera menikmati indahnya anugerah Tuhan ini. Tarian ombak yang menderu membuat suasana pantai ini semakin angkuh namun eksotik. Di satu sudut pantai berdiri dua karang terjang yang berdiri angkuh, sudut pantai yang lain menggambarkan pahatan  dinding karang oleh tempaan ombak hingga muncul lukisan yang tak bisa dihargai dengan uang. Pasir di sepanjang garis pantai yang putih membuat pengunjung tak segan untuk tidur diatasnya.  
Perilaku narsis kami yang selalu muncul tak ketinggalan eksis kembali. Secara bergantian kami merekam momen ini dengan kamera handphone masing-masing. Bak peragawan dan peragawati di catwalk, kami ber-pose dengan berbagai gaya. Senyum sumringah menghiasi bibir, baju lusuh, keringat mengucur deras sudah tidak terpikirkan lagi, yang penting gaya….


Puas sudah kami menikmati pesona pantai ini, akhirnya kami kembali ke Kota Surabaya dengan selamat. Terimakasih Tuhan, Kau telah anugrahkan umat Mu berbagai kenikmatan dunia. Inilah oleh-olah dari Pacitan.



Tidak ada komentar: