Jumat, 28 Desember 2012

Tantangan Jawa Timur terhadap Masalah Kesehatan


TANTANGAN JAWA TIMUR TERHADAP MASALAH KESEHATAN

Kesehatan bukanlah segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi bukan apa-apa. Artinya bahwa kesehatan menjadi kebutuhan yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan ini selalu diperlukan semenjak manusia masih berada dalam kandungan sampai usia lanjut menjelang kematian. Beranjak dari itu maka kesehatan merupakan salah satu aspek yang dinilai dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau United Nation Development Programme (UNDP). Sebuah negara dengan angka IPM yang  tinggi menandakan bagaimana tingginya suatu wilayah dalam kesempatan untuk mengakses hasil suatu pembangunan dari haknya dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Luasnya wilayah Indonesia merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan derajat IPM masyarakatnya. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah membuat beban pemerintah pusat dapat berkurang, dimana pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelola wilayahnya dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan pemerintah pusat. Namun kebijakan ini tentunya juga punya sisi negatif, diantaranya beberapa daerah yang tidak siap dalam sarana dan prasarana akan tertinggal dari daerah lain. Hal Ini membuat pembangunan di Indonesia tidak merata.
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan wilayah terbesar di Pulau Jawa. Luas wilayahnya sekitar  47,156 km yang  terdiri dari daerah dataran tinggi (pegunungan), dataran rendah dan terdapat sekitar 229 wilayah kepulauan. Jumlah penduduk berdasarkan proyeksi BPS tahun 2011 adalah 38.026.550 dengan penyebaran tebesar berada di kota-kota besar seperti Surabaya, Malang dan Jember. Luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk , menyebabkan  berkembangnya beragam nilai dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Nilai dan budaya tersebut tidak semuanya bersifat positif, tetapi tidak sedikit juga nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tidak sejalan dengan aspek-aspek pembangunan termasuk kesehatan. Hal ini menjadi kendala bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai leader dan pengatur pembangunan.
Beberapa indikator-indikator kesehatan di Provinsi Jawa Timur masih memerlukan penanganan secara lebih serius, guna mewujudkan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi. Walaupun dalam upaya mencapai kondisi masyarakat tersebut, memerlukan sumber daya manusia, dana dan waktu yang tidak sedikit. Sebenarnya sudah sejak lama prinsip ini diterapkan oleh Jawa Timur jika mau jer basuki maka harus mawa beya

Angka Kematian Bayi  (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI)
                Sebagaimana kesepakan dalam komitmen global yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs) bahwa semua negara berupaya untuk menurunkan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI). Di Indonesia kedua parameter tersebut  masih sangat tinggi, menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 AKB 34 per 1000 kelahiran hidup dan AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan angka kedua tertinggi setelah Myanmar, jauh diatas angka kematian di Singapura dan Malaysia.
                Jawa Timur merupakan penyumbang jumlah kematian yang cukup tinggi bagi angka Indonesia. Bahkan disinyalir pada tahun 2012 jumlah kematian ibu dan bayi di Jawa Timur cenderung meningkat. Memang saat ini pola dan tempat kematian sudah berbeda, dari semula banyak yang masih  berhubungan dengan dukun (non petugas kesehatan) sekarang banyak masyarakat yang sudah menggunakan jasa pelayanan petugas kesehatan.
                Saat ini trend tempat kematian ada di rumah sakit. Tetapi hal ini bukan saja disebabkan oleh  pelayanan di semua sarana pelayanan kesehatan rujukan ini kurang berkualitas, tetapi banyak faktor terkait penyebab kematian ibu dan anak. Faktor utama penyebab adalah kurangnya komitmen semua SDM sesuai dengan bidangnya (profesi) untuk selalu berupaya menurunkan jumlah kematian ibu dan bayi. Jawa Timur mempunyai banyak orang “pintar” tetapi hanya ada beberapa orang saja yang mempunyai komitmen kuat dalam program penurunan AKI dan AKB  ini. Tanpa ditunjang dengan komitmen semua profesi sebagai pelaksana pelayanan di lapangan hasil yang diharapkan akan sulit tercapai.
                Walaupun lebih dari 80% rumah sakit umum daerah (RSUD) di Jawa Timur sudah berstatus PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif) dan di setiap kabupaten/ kota sudah mempunyai Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar, tetapi pada kenyataannya sumber daya manusia (SDM), sarana, prasarana dan peralatan yang seharusnya dipenuhi tidak seluruhnya tersedia. Hal ini tentunya menyebabkan pelayanan yang diberikan tidak dapat optimal.
                Keterlambatan rujukan juga merupakan pemicu tingginya kematian. Selain karena faktor geografis beberapa wilayah di Jawa Timur yang berupa kepulauan dan pegunungan, keterlambatan pengambilan keputusan oleh keluarga merupakan beberapa penyebab keterlambatan rujukan. Masih berkembangnya ketakutan dari masyarakat akan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan ketika mendapat perawatan di RS disinyalir merupakan salah satu penyebab lamanya pengambilan keputusan.
                Beberapa uraian diatas adalah sedikit dari begitu banyak faktor penyebab  masih tingginya jumlah kematian ibu dan bayi di Provinsi Jawa Timur, artinya faktor-faktor lain jika di gali lebih dalam masih sangat banyak dan beragam.

Penyakit Menular dan Tidak Menular
                Masalah kesehatan berikutnya di Jawa Timur adalah penyakit menular yang masih tinggi, ditambah meningkatnya penyakit tidak menular (hyertensi, diabetes militus, stroke, gangguan jiwa dn lain-lain) semakin menambah permasalahan yang harus diatasi. Satu-satunya provinsi yang berani mengungkapkan data kejadian dan kematian akibat difteri adalah Jawa Timur ( walaupun kemungkinan provinsi-provinsi lain di Indonesia sebenarnya juga mengalami hal yang sama). Disamping itu masih tingginya penyakit kusta, Penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat di wilayah kepulauan di Kabupaten Sampang ini masih memerlukan perhatian serius dari pemerintah.. Tuberculosa (TBC) juga masih menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat di Jawa Timur, terbukti jumlah penderitanya masih sangat tinggi. Bahkan penyakit yang sifatnya “musiman” seperti  diare, demam berdarah menjadi beban masalah kesehatan yang masih dan akan menyita perhatian pemerintah.
                Lebih mengejutkan lagi adalah berkembangnya re-emerging deseases dan semakin meningkatnya penderita HIV-AIDS. Kejadian flu burung dan flu babi (suspect) juga ditemukan di Jawa Timur, Penyakit yang ditularkan oleh binatang ternak ini merupakan ancaman timbulnya masalah kesehatan bagi masyarakat. Masalah lain yang tidak kalah seriusnya adalah semakin meningkatnya penderita HIV-AIDS. Jumlah penderita HIV-AIDS di Jawa Timur  pada tahun 2012 meningkat, bahkan saat jumlahnya  tertinggi kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta.
                Dengan semakin berkembangnya industrialisasi terutama di kota-kota besar di tambah dengan pola hidup kurang sehat dicurigai merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit tidak menular dan penyakit degeneratif seperti hypertensi, stroke, diabetes militus, penyakit jantung dan kanker. Bahkan di Jawa Timur penyakit tersebut masih merupakan penyebab kematian tertinggi. Jika tidak di atasi dengan baik masalah ini akan semakin menjadi beban pemerintah daerah dalam menjamin kesehatan masyarakatnya
Lagi-lagi ini adalah sekelumit gambaran penyakit menular dan tidak menular di Jawa Timur. Secara epidemiologis masih banyak penyakit-penyakit yang menjadi permasalahan dan potensial menjadi masalah kesehatan masyarakat Jawa Timur.

Sarana Pelayanan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI telah menyaratkan bahwa sarana pelayanan kesehatan harus terstandar dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kemanan (safety) dan kenyamanan (pleasant) bagi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan.
Pada kenyataannya tempat pelayanan di Jawa Timur masih sangat bervariasi. Terdapat sarana pelayanan kesehatan dengan peralatan, saran, prasarana dan SDM yang lengkap, tetapi masih banyak RS atau puskesmas dengan sarana, prasarana, SDM dan peralatan yang sangat terbatas. SDM  merupakan salah satu faktor utama penyebab kurangnya kualitas pelayanan terutama sikap profesionalitasnya. Jika diprosentasekan antara SDM yang berperilaku secara profesional dibandingkan dengan SDM yang hanya sekedar melaksanakan pekerjaaan, sudah dapat ditebak hasilnya akan berat sebelah dengan dominasi kelompok yang hanya sekedar melakukan pekerjaan secara rutin saja. Pelayanan di sarana pelayanan kesehatan ini juga dipeburuk dengan tidak meratanya  distribusi SDM (seperti dokter, dokter spesialis dll), dimana dokter dan dokter spesialis serta tenaga inti pelayanan berada di kota-kota besar saja.
Selain itu, faktor peralatan di setiap sarana pelayanan kesehatan juga mutlak harus dipenuhi sesuai dengan klasifikasinya. Sebuah sarana pelayanan kesehatan akan dapat berfungsi secara optimal jika peralatannya lengkap. Bisa dibayangkan Apa jadinya ketika masyarakat yang dalam kondisi kritis dan membutuhkan pelayanan segera dengan peralatan tertentu tetapi tidak tersedia di sarana pelayanan kesehatan.
Hal lain yang menjadi kendala dalam menjamin ketersediaan dan akses pelayanan kesehatan adalah beberapa wilayah tertentu di Jawa Timur sangat jauh dari sarana pelayanan kesehatan, tetapi di sisi lain RS dan sarana pelayanan kesehatan dasar menjamur di kota-kota besar. Ini menjadi kendala sangat serius bagi pemerintah untuk menjamin pemerataan pelayanan kesehatan yang harus diterima oleh masyarakat.
 Sebagai pengatur penyelenggara pelayanan, pemerintah wajib mengatur agar sarana pelayanan kesehatan dapat melakukan pelayanannya secara optimal, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat juga tinggi. Memang  tingkat hunian pada sarana pelayanan kesehatan menunjukkan angka yang cukup tinggi, tetapi hal ini bukan berarti kualitas pelayanan yang diberikan sudah bagus. Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat menggunakan jasa pelayanan kesehatan milik pemerintah, diantaranya adalah tidak adanya sarana pelayanan kesehatan lain atau ketakutan dari masyarakat untuk mengeluarkan dana yang besar ketika menggunakan jasa pelayanan kesehatan swasta  sehingga   ”terpaksa” masyarakat menggunakan jasa pelayanan kesehatan milik pemerintah. Bila pengukuran ini dilanjutkan dengan pengukuran kepuasan maka hasilnya akan bergeser dan dengan kecenderungan tingkat kepuasan yang minimal.

Rendahnya Kesadaran Masyarakat terhadap Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
                Masalah kesehatan yang berpotensi tetap menjadi perhatian adalah rendahnya kesadaran hidup bersih dan sehat. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi diantaranya adalah kurang meratanya tingkat sosial ekonomi sehingga masih nampak perkampungan padat dan kumuh, beragamnya tingkat pendidikan yang berakibat tingkat penyerapan masyarakat terhadap program pemerintah sangat variatif, kenaikan jumlah urbanisasi ke kota-kota besar sehingga masyarakat yang tidak mempunyai ketrampilan dan pengetahuan mumpuni hidup dalam kondisi tidak sehat, penyediaan sarana PHBS (perumahan, air, tempat sampah yang layak dan lain-lain) belum optimal.
                Kondisi seperti ini berakibat memburuknya derajat kesehatan masyarakat, yaitu meningkatnya jumlah penyakit, terutama penyakit menular. Apabila kondisi tersebut tidak terselesaikan maka rantai penyebaran penyakit menular akan menjadi semakin meningkat. 

Solusi
Berikut solusi dari penulis yang diharapkan dikerjakan oleh penyelenggara pemerintahan, swasta dan pihak-pihak terkait :
  1. Meningkatkan kesadaran hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat.
  2. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan perlu ditingkatkan, Karena dasar dari peningkatan derajat kesehatan berada pada masyarakat itu sendiri.
  3. Adanya kesatuan langkah dari berbagai program dan berbagai instansi yang berkaitan sehingga penyelenggaraan pemerintahan bisa selaras dalam satu tujuan.
  4. Komitmen dari seluruh SDM dari berbagai instansi pemerintah, swasta, profesi dan tentunya dunia pendidikan serta pergurun tinggi dalam mewujudkan masyarakat yang sehat.
  5. Berupaya melengkapi sarana, prasarana dan peralatan yang memang secara klasifikasi harus terpenuhi.
Demikian tulisan yang dapat penulis sampaikan, satu maksud yang penulis harapkan adalah mewujudkan hak masyarakat dalam mendapatkan kesehatan. Semoga masukan ini menjadi masukan yang berharga bagi semua pihak.
--- Diambil dari berbagai sumber-------

Sabtu, 22 Desember 2012

Pasar Sebagai Hilir Kesehatan


Pasar Sebagai Hilir Kesehatan

Indonesia saat ini masih berkutat dengan penyakit yang berkaitan erat dengan buruknya sanitasi lingkungan seperti demam berdarah dengue (DBD), diare, hepatitis, kusta, thypoid, flu burung dan lain-lain. Penyakit ini lebih banyak didapat karena berhubungan dengan tempat-tempat umum. Banyak tempat-tempat umum yang seolah menutup mata terhadap tersedianya sanitasi lingkungan yang baik dengan berbagai alasan, umpamanya kesulitan biaya atau kesulitan untuk menerapkan. 

Tempat umum bisa didefinisikan sebagai suatu tempat umum (semua orang) dapat masuk ke tempat tersebut untukberkumpul mengadakan kegiatan baik secara insidentil maupun terus-menerus (Suparlan 1977). Sedangkan menurut WH sanitasi diartikan usaha pencegahan/ pengendalian semua faktor lingkungan fisik yang dapat memberikan pengaruh terhadap manusia terutama yang sifatnya merugikan/ bahaya terhadap perkembangan fisik, kesehatan dan kelangsungan hidup manusia.

Salah satu tempat yang sering didatangi semua orang adalah pusat perbelanjaan termasuk pasar baik pasar modern maupun pasar tradisional. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat mendefinisikan  pasar tradisional sebagai pasar yang sebagian besar dagangannya adalah kebutuhan sehari-hari dengan praktik yang masih sederhana dengan fasilitas infrastrukturnya juga sangat sederhana dan belum mengindahkan kaidah kesehatan.

Mengacu dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pasar merupakan tempat yang strategis dalam proses penyediaan bahan pangan, makanan,dan merupakan tempat penghubung antara produsen, penjual, pembeli, manajemen pasar dan tokoh masyarakat. Posisi ini membuat pasar merupakan salah satu faktor penting dalam rantai penyebaran penyakit. Jika titik-titik rantai penyebaran penyakit ini dikelola dengan baik dan benar maka kesehatan masyarakat diharapkan dapat meningkat. Sanitasi pasar ini biasanya meliputi :
  1.   Lokasi pasar yang aman dan bebas dari bencana dan kecelakaan,
  2.  Bangunan fisik pasar layak dan aman,
  3. Sanitasi lingkungan yang baik,
  4. Perilaku hidup bersih dan sehat dari pengelola, pengunjung dan penjual,
  5. Adanya sarana penunjang  keamanan dan keselamatan.

Peran pengelola sangat besar dalam membentuk sebuah pasar menjadi tempat yang aman, nyaman, sehat dan menyehatkan. Pengaturan pola dan bentuk pasar sangat tergantung pengelola. Ketika dibuat kebijakan dan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis dari pihak pengelola hendaknya mempertimbangkan banyak hal, termasuk aspek kesehatan. Bagaimana pasar bisa menjadi tempat yang dapat mengatur dan mengendalikan poses produksi, distribusi dan konsumsi barang, makanan dan peralatan sehingga dapat berguna, bermanfaat dan menyehatkan masyarakat.

Jika dihitung secara matematis banyak keuntungan yang didapat dengan penerapan metode pasar sehat. Keuntungan tersebut dapat berupa meningkatnya kenyamanan pembeli sehingga menambah jumlah pembeli, bertambahnya lapangan pekerjaan, meningkatnya kerjasama antara pedagang, kontraktor dan pengelola, serta meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat karena mengonsumsi makanan yang sehat.

Senin, 17 Desember 2012

Pulau Gili-Ketapang Probolinggo Cegah Difteri

Matahari masih malas untuk menampakkan tajinya, kami sudah harus memulai aktifitas. Dimulai dari kantor Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur kami awali perjalanan menuju Kota Probolinggo. Tujuan utama adalah melakukan rapid convenience assesment (RCA) suatu kegiatan untuk mengetahui validitas cakupan dan bagaimana tanggapan masyarakat apakah masih ada penolakan terhadap tindakan imunisasi difteri. Kota Probolinggo adalah salah satu dari sembilan belas (19) kabupaten/ kota yang mendapat program Sub Pekan Imunisasi Nasional (Sub PIN) di Jawa Timur.

Meningkatnya kejadian difteri di Jawa Timur (terutama di 19 kabupaten/ kota) harus segera diputus rantai penyebarannya. Dari beberapa bentuk upaya pencegahan salah satunya adalah program Sub PIN. Sasaran imunisasi ini adalah anak umur 2 bln - 15 tahun yang terbagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu untuk umur 2-36 bulan diberika imunisasi DPT-HB, umur 3-7 tahun dengan imunisasi DT dan 7-15  th mendapat imunisasi Td. Pelaksanaan kegiatan ini dimulai semenjak pertengahan Nopember 2012 dengan tempat pelaksanaan di pos-pos Sub PIN yang telah disiapkan. Pos PIN ini memanfaatkan posyandu, TK/ RA, SD dan SMP.

Setelah semua pos Sub PIN melakukan imunisasi, maka dilakukan RCA . Kegiatan ini diibaratkan sebagai sapu bersih terhadap anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi dan memonitor kemungkinan kejadian infeksi pasca imunisasi (KIPI). Petugas dari Provinsi Jawa Timur didampingi oleh petugas kabupaten/ kota serta tokoh masyarakat melakukan kunjungan rumah terhadap sejumlah sampel yang telah dipilih secara acak.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Probolinggo angka cakupan imunisasi difteri ini telah mencapai lebih dari 100 prosen, hal ini disebabkan karena bertambahnya jumlah anak yang mendapat imunisasi dibandingkan dengan jumlah sasaran. Penambahan ini terjadi karena urbanisasi dan adanya sejumlah anak sekolah dari luar wilayah Kota Probolinggo.

Hasil RCA yang diperoleh adalah Kota Probolinggo telah melaksanakan imunisasi kepada sasaran tanpa adanya KIPI. Bagi anak yang belum mendapatkan program imunisasi ini diwajibkan untuk dilakukan imunisasi di sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk.

Satu pengalaman yang tidak pernah kami lupakan dari kegiatan ini. Adalah Pulau Gili-Ketapang, sebuah pulau yang terletak di 5 mil lepas pantai utara Probolinggo. Secara administratif pulau ini masuk wilayah Kabupaten Probolinggo, tetapi karena Pelabuhan Tanjung Tembaga tempat kapal bersandar dan menuju pulau tersebut berada di Kota Probolinggo maka kami putuskan untuk mendatangi pulau tersebut.

Pulau seluas 68 Ha dan dihuni kurang lebih 8000 jiwa dengan hampir 100 prosen mata pencahariannya sebagai nelayan ini dapat ditempuh selama 30 menit - 1 jam. Semakin mendekati pulau kapal berlayar, mata kami semakin dimanjakan oleh keindahan pulau, ditambah dengan beningnya air laut dan pasir putihnya menambah eksotis pulau ini, bahkan menurut informasi penduduk, jika beruntung selama perjalanan kita bisa menyaksikan ikan-ikan besar seperti hiu, lumba-lumba dan paus.

Lepas dari segala buaian pulau yang indah memesona, kami tetap melakukan kegiatan survey hasil pelaksanaan imunisasi. Setibanya di pulau, kami disambut oleh keramahan masyarakat setempat dengan logat Bahasa Madura yang kental. Beruntung kami ditemani dan di fasilitasi oleh sahabat-sahabat Dinas Kesehatan Kota Probolinggo, sehingga kekurangan kami dalam berkomunikasi dengan Bahasa Madura sangat terbantu.

Bahagia terlihat dari wajah-wajah kami, perjalanan ke pulau yang begitu menyenangkan ditambah dengan hasil RCA. Data yang kami peroleh menyebutkan bahwa pulau ini telah ikut serta melakukan program Sub PIN imunisasi difteri. Sampel yang kami survey menunjukkan petugas kesehatan dan tokoh masyarakat telah memberikan imunisasi dan tidak dijumpai kejadian KIPI. Kebungahan kami memuncak ketika kami sengaja di sediakan hasil tangkapan laut oleh salah satu tokoh masyarakat setempat. begitu fresh dan lezat dengan sajian masakan tradisonalnya.

Akhir sebuah perjalanan di pulau nan elok menawan tersebut adalah meningkatkan rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan. Sebuah pulau indah telah ikut serta berupaya memutus rantai penyebaran penyakit difteri.


Terimakasih kami  ucapkan kepada segenap SDM Dinas Kesehatan Kota Probolinggo beserta semua unsur terkait dan seluruh masyarakat Gili-Ketapang. Besar harapan kami masyarakat akan terbebas dari penyakit terutama difteri sehingga terwujud masyarakat yang sehat guna mencapai produktifitas yang optimal.