Senin, 12 Januari 2015

HIV Masih Menjadi Masalah Dunia

HIV merupakan pandemik global yang semakin meningkat jumlahnya di seluruh dunia dan merupapak sebuah permasalahan yang sangat urgen untuk dipecahkan. Dikarenakan Virus HIV merusak sistem kekebalan tubuh manusia maka tubuh akan sangat rentan terhadap munculnya infeksi opportunis. Jika dihitung dari awal tertularnya infeksi sampai stadium akhir (AIDS) sangat bervariasi untuk tiap manusia, dapat mencapai lebih dari 10 tahun. Penularan yang paling sering terjadi menurut beberapa penelitian adalah secara heterosexual. Wanita usia subur sangat berisiko tertular HIV jika melakukan praktik sexual yang tidak aman. Hal ini juga terjadi pada penularan yang terjadi dari wanita hamil kepada bayinya, tetapi kasus penularan ibu ke janin ini dapat dikendalikan dengan program PMTCT (Prevention of Mother- to- Chold HIV Transmission) secara efektif.
Dampak menyeluruh oleh karena HIV antara lain : menyebabkan dampak negatif terhadap status ekonomi suatu Negara, bertambahnya lama hari rawat di rumah sakit, menurunnya umur harapan hidup, tantatangan keberlanjutan hidup anak-anak dan meningkatnya jumlah yatim piatu.
Virus HIV secara umum dapat ditemukan pada darah, semen (cum), cairan pre-semen (pre-cum), cairan rektal. Sebenarnya virus HIV tidak tahan lama di udara luar. Virus dapat menular melalui kontak langsung dengan darah yang telah terinfeksi, kontak sexual (anal, oral atau vginal), kontak langsung dengan semen atau sekresi vagina dan serviks, infeksi HIV dari ibu yang mengandung, proses melahirkan ibu yang terinfeksi atau ibu terinfeksi HIV yang menyususi, penggunaan secara bergantian jarum yang terkontaminasi dan penggunaan transfuse darah yang terkontaminasi.
Perlu diketahui bahwa virus HIV tidak akan menular melalui perantara air, serangga (termasuk gigitan nyamuk), kontak pakain (bertukar pakaian dengan penderita HIV), ciuman dengan mulut tertutup (social kissing), pemakaian toilet secara bergantian, batuk/bersin, menggunaan cangkir, piring atau alat makan secara bergantian ataupun penggunaan telephon.
Strategi pencegahan sangat menentukan keberhasilan penangan penderita HIV agar tetap dapat hidup produktif dengan kualitas hidup yang baik. Hal yang perlu diperhatiakn adalah pencegahan munculnya infeksi tambahan, penegakan diagnose sedini mungkin, pemberian treatment yang efektif serta mencegah penularan terhadap orang lain. Sehingga diperlukan kerjasama dari berbagai profesi baik di bidang kesehatan maupun non- kesehatan, karena sangat diperlukan perencanaan matang dalam penanganannya. Mulai dari proses surveylans dalam mengidentifikasi factor risiko, melakukan analisa hasil identifikasi, pemberian rekomendasi dalam memngatasi masalah sampai tahap pencegahan atau pengobatan serta evaluasi yang terus menerus.
Diagnosa HIV biasanya mudah ditentukan karena tanda dan gejalanya tidak beragam. Misalnya saja jika mempunyai perilaku risiko tinggi dengan menderita tanda dan gejala tertentu maka perlu dicurigai positif. Untuk memeastikannya dilakukan pemeriksaan screening test (ELISA atau EIA) dan confirmatory test (western Blot analysis atau RT-PCR). Pemeriksaan HIV di anjurkan bagi beberapa beberapa kondisi sebagai berikut : orang yang melakukan kegiatan sexual tidak aman (tanpa menggunakan kondom) dengan bergonta ganti pasangann atau melakukan sex tidak aman dengan orang yang berisiko, pengguna obat-obatan yang bertukar jarum suntik, atau penderita hepatitis, TBC atau diarrhea yang tidak kunjung sembuh.
Virus yang masuk kedalam tubuh manusia kemudian akan menimbulkan gejala melalui tahap-tahab sebagai berikut :
  1. Seroconversion : Infeksi HIV, tetapi antibodi masih tinggi
  2. Asymptomatic : Tanpa ada gejala HIV, tetapi sistem kekebalan mulai dipengaruhi oleh virus HIV
  3. Symptomatic : Muncul tanda dan gejala HIV, beberapa sistem kekebalan melemah
  4. AIDS : Infeksi oportunis muncul, merupakan tahap akhir dari penyakit.
HIV/ AIDS adalah penyakit yang berbahaya, fenomena gunung es masih berlaku saat ini. Untuk itu perlu kerja keras dari berbagai pihak. Bukan menghindari dan mengucilkan penderita HIV/ AIDS, tetapi mencegah penyebaran virus HIV di masyarakat. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan : strategi kesehatan berbasis masyarakat untuk mencegah penularan HIV, pemeriksaan saringan semua darah dan produk-produk darah, melaksanakan kewaspadaan universal, melakukan pendidikan praktik sex aman, melakukan identifikasi dan pencegahan masuknya infeksi lain, menyediakan sarana pelayanan kesehatan untuk terapi bagi pecandu obat.

Disamping itu ada sedikitnya 5 (lima) komponen penting yang harus selalu diupayakan yaitu : meningkatkan jumlah penderita HIV yang mengetahui tentang statusnya, meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana pelayanan kesehatan, meningkatkan kualitas pelayanan dan pengobatan terhadap penderita HIV/AIDS, meningkatkan jumlah penmderita HIV/ AIDS yang diobati serta meningkatkan jumlah penderita HIV/AIDS yang dapat mengurangi perilakunya yang berisiko menularkan virus terhadap orang lain.

Jumat, 02 Januari 2015

GAMBARAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI RUMAH SAKIT DI JAWA TIMUR

Sarana Pelayanan Kesehatan termasuk rumah sakit harus menjadi tempat yang aman bagi para pekerja, pasien dan masyarakat sekitar. Untuk itu program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) sangat penting dalam menjaga semua  hal yang terkait dengan pelayanan dan prosedur tindakan di rumah sakit agar menjadi lebih baik. Sejalan dengan hal tersebut, dalam akreditasi rumah sakit versi 2012, PPIRS menjadi salah satu aspek penilaian yang sangat menentukan kelulusan sebuah rumah sakit. Pada tahun 2013 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur telah melakukan monitoring evaluasi dan pembinaan di beberapa rumah sakit serta menyebarkan kuesioner terkait pelayanan PPIRS kepada rumah sakit khusus (RSK) dan rumah sakit umum (RSU) Kelas A, B dan C. Adapun data yang berhasil dihimpun adalah sebagai berikut :

I.     Trend Kejadian Health Assosiated Infections (HAIs) di Jawa Timur
Kejadian infeksi oleh karena prosedur pelayanan atau biasa dikenal dengan istilah HAIs di RSU Kelas A cenderung menurun pada tahun 2013 jika dibandingkan tahun 2012, Sedangkan kejadian IADP terdapat kecenderungan meningkat . Kejadian tertinggi pada tahun 2013 adalah flebitis, disusul decubitus, Aliran Darah Primer (IADP), Infeski Saluran Kemih (ISK), Hospitas Aquired Pnemonie (HAP) serta Infeksi Luka Operasi (ILO).  
Tidak jauh berbeda dengan RSU Kelas A, kejadian tertinggi HAIs di RSU Kelas B adalah flebitis. ISK menempati urutan kedua disusul oleh kejadian decubitus dan IADP serta ILO. Sedangkan jumlah HAP yang rendah kemungkinan disebabkan oleh kurangnya sarana pendukung dalam penegakan diagnosa HAP di RSU Kelas B, misalnya beberapa RSU yang tidak mempunyai peralatan untuk pemeriksaan kultur. Namun demikian trend kejadian HAIs di RS Kelas B juga mengalami penurunan di tahun 2013 jika dibandingkan tahun 2012. 
Tingginya kasus flebitis juga terjadi pada RSU Kelas C, bahkan jumlahnya mencapai 1043 kejadian pada tahun 2012 dan menurun menjadi 368 kejadian pada tahun 2013. Walaupun beberapa kejadian HAIs cenderung menurun, tetapi kasus ILO mengalami kecenderungan meningkat di tahun 2013, hal ini memerlukan kewaspadaan lebih tinggi dalam memberikan tindakan dan perawatan pada kasus-kasus preoperasi, intraoperasi dan pascaoperasi. 
Untuk survey kejadian HAIs di RSK, seluruh RSK hanya mampu melakukan survey terhadap kejadian flebitis saja. Sedangkan kejadian-kejadian lain tidak pernah dilakukan survey. Dari 7 (tujuh) RSK yang dilakukan survey didapatkan kejadian flebitis yang sangat tinggi. Walaupun mengalami trend menurun di tahun 2013, namun kejadian flebitis ini masih relatif tinggi. 
            Terdapat beberapa kemungkinan penyebab penurunan HAIs ini, antara lain : meningkatnya kesadaran SDM dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit, perbaikan sarana dan prasarana PPIRS, atau pelaksanaan survey yang tidak rutin, keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM terampil, rutin sehingga data yang dihasilkan tidak akurat.

II.   Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Dari beberapa program yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan pelayanan PPI salah satunya adalah kegiatan survey secara rutin terhadap Infeksi Rumah Sakit (IRS)/ HAIs. RS Pemerintah di Jawa Timur RS yang telah melaksanakan survey secara rutin terhadap IRS/ HAIs sebanyak 18 RS (34,62%). Sedangkan RS yang tidak melakukan survey secara rutin terhadap IRS adalah sebagai berikut : 6 RS Khusus, 1 RSU Kelas A, 12 RSU Kelas B dan 7 RSU kelas C. Disamping survey program yang sangat penting dalam mengeliminasi kuman dan memutus transmisi infeksi adalah handhygiene (kebersihan tangan), kebiasaan membersihkan tangan sangat efektif dalam menekan kejadian IRS/ HAIs. RS Pemerintah yang telah menjalankan program handhygiene berjumlah 23 RS baik RSU maupun RSK dan sisanya 29 RS belum menjalankan program handhygiene. Tingkat kepatuhan terhadap tindakan handhygiene di RS se-Jawa Timur  berdasarkan survey yang telah dilakukan oleh RS terhadap petugas didapati bahwa terdapat SDM yang tidak patuh terhadap program handhygiene secara berturut-turut adalah SDM Lain (petugas administrasi, cleaning service, dll) 46%, dokter/ dokter gigi 29%, perawat/ bidan 6 %. Tetapi dari jumlah total RS pemerintah, terdapat 19% RS tidak melakukan survey kepatuhan  terhadap tindakan handhygiene.

III.    Sarana dan Prasarana PPI
Sarana dan prasarana PPIRS muntlak harus disediakan oleh rumah sakit untuk melindungi pasien, petugas dan keluarga pasien dari risiko penularan infeksi. Salah satu sarana penting adalah ruang isolasi khusus untuk pasien menular, terdapat 13 (25%) RSU Kelas A,B, dan C serta RS Khusus yang belum mempunyai ruang isolasi untuk perawatan pasien menular dari total 52 RS. Adapun dari RSU dan RSK yang telah mempunyai ruang isolasi, semuanya belum memenuhi standar ruang isolasi dari Kementerian Kesehatan RI. Total jumlah tempat tidur ruang isolasi di Jawa Timur adalah berturut-turut sebagai berikut : RSK 65 TT, RSU Kelas A 48 TT, RSU Kelas B 168 TT dan RSU Kelas C  sebanyak 41 TT.
Kelengkapan lain yang juga penting dalam PPIRS adalah alat pelindung diri (APD), dari data tahun 2013 masih banyak RS yang belum mempunyai APD dalam jumlah yang cukup. Dari RSK hanya 1 RS (20%) yang mempunyai APD cukup, RSU Kelas A terdapat 50% yang mempunyai kelengkapan APD, RSU Kelas B terdapat 18 (66,67%) RS yang mempunyai APD lengkap bahkan kondisi RSU kelas C hanya terdapat 3 (23,07%) RS dengan APD yang cukup.
Sarana lain yang harus mendapat perhatian dalah pengelolaan sterilisasi yang terpusat di satu tempat atau Central Sterile Supply Departement (CSSD) dan terdapatnya Instalasi Pengelolaan Air dan Limbah (IPAL). Jika RSU kelas A sudah mempunyai kedua sarana tersebut, berbeda dengan RSU Kelas B, yaitu hanya 82% yang mempunyai IPAL dan baru 62% yang telah mengembangkan CSSD. RSU Kelas C terdapat 78% RS yang mempunyai IPAL dan hanya 41% yang mempunyai sarana CSSD. Sedangkan 83% RSK telah mempunyai IPAL namun hanya 21% yang mempunyai CSSD.
  
IV.    Organisasi PPIRS
Salah satu faktor penting agar program PPIRS bisa berjalan dengan optimal adalah dibentuknya komite/ tim PPI, rata-rata RS di Jawa Timur telah mempunyai komite/ tim PPI namun peran komite/ tim PPIRS sebagai penggerak dalam pencegahan dan pengendalian infeksi tidak berjalan optimal. Secara keseluruhan terdapat 11 (20%) RSU dan RSK yang belum mempunyai komite/ tim PPI. Hal yang hampir sama juga terjadi pada pemenuhan SDM dokter terlatih Infection Prevention and Control Officer (IPCO) dan perawat terlatih Infection Prevention and Control Nurs (IPCN). Jumlah RSK yang mampu memenuhi dokter terlatih IPCO hanya 1 RS (14,29%), RSU Kelas A 2 RS (100%), RSU kelas B 19 (65,52%), RSU kelas C 5 (35,71%). Sedangkan RSK yang mampu memenuhi SDM Perawat terlatih IPCN adalah 2 RS, RSU Kelas A 2 RS, RS Kelas B 82,76 RS, RSU kelas C 6 RS (42,86%).
Dalam mendorong agar program PPIRS ini berjalan dengan optimal sehingga angka kejadian infeksi di Rumah Sakit/ HAIs dapat diturunkan sangat diperlukan adanya dukungan dari pimpinan rumah sakit. Di Jawa Timur masih sedikit direktur RS yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pelaksanaan PPIRS. Berikut adalah tabel yang menunjukkan dukungan direktur terhadap pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi Rumah Sakit.