Sarana Pelayanan Kesehatan termasuk rumah sakit harus
menjadi tempat yang aman bagi para pekerja, pasien dan masyarakat sekitar.
Untuk itu program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS)
sangat penting dalam menjaga semua hal yang
terkait dengan pelayanan dan
prosedur tindakan di rumah sakit agar menjadi lebih baik. Sejalan dengan hal tersebut, dalam akreditasi
rumah sakit versi 2012, PPIRS menjadi salah satu aspek penilaian yang sangat menentukan
kelulusan sebuah rumah sakit. Pada tahun 2013 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur telah melakukan
monitoring evaluasi dan pembinaan di beberapa rumah sakit serta menyebarkan
kuesioner terkait pelayanan PPIRS kepada rumah sakit khusus (RSK) dan rumah
sakit umum (RSU) Kelas A, B dan C. Adapun data yang berhasil dihimpun adalah sebagai berikut :
I. Trend Kejadian Health Assosiated Infections (HAIs) di Jawa Timur
Kejadian
infeksi oleh karena prosedur pelayanan atau biasa dikenal dengan istilah HAIs di
RSU Kelas A cenderung menurun pada
tahun 2013 jika dibandingkan tahun 2012, Sedangkan kejadian IADP terdapat kecenderungan
meningkat . Kejadian tertinggi pada tahun 2013 adalah flebitis, disusul decubitus, Aliran Darah Primer (IADP), Infeski
Saluran Kemih (ISK), Hospitas Aquired
Pnemonie (HAP) serta Infeksi Luka Operasi (ILO).
Tidak jauh berbeda dengan RSU Kelas A, kejadian tertinggi HAIs di RSU Kelas B adalah
flebitis. ISK menempati urutan kedua disusul oleh kejadian decubitus dan IADP
serta ILO. Sedangkan jumlah HAP yang rendah kemungkinan disebabkan oleh
kurangnya sarana pendukung dalam penegakan diagnosa HAP di RSU Kelas B, misalnya beberapa RSU yang tidak mempunyai
peralatan untuk pemeriksaan kultur. Namun demikian trend kejadian HAIs di RS
Kelas B juga mengalami penurunan di tahun 2013 jika dibandingkan tahun 2012.
Tingginya kasus flebitis juga
terjadi pada RSU Kelas C, bahkan jumlahnya mencapai 1043 kejadian pada tahun
2012 dan menurun menjadi 368 kejadian pada tahun 2013. Walaupun beberapa
kejadian HAIs cenderung menurun, tetapi kasus ILO mengalami kecenderungan meningkat
di tahun 2013, hal ini memerlukan kewaspadaan lebih tinggi dalam memberikan
tindakan dan perawatan pada kasus-kasus preoperasi, intraoperasi dan pascaoperasi.
Untuk survey kejadian HAIs di
RSK, seluruh RSK hanya mampu melakukan survey terhadap kejadian flebitis saja.
Sedangkan kejadian-kejadian lain tidak pernah dilakukan survey. Dari 7 (tujuh)
RSK yang dilakukan survey didapatkan kejadian flebitis yang sangat tinggi. Walaupun
mengalami trend menurun di tahun 2013, namun kejadian flebitis ini masih
relatif tinggi.
Terdapat
beberapa kemungkinan penyebab penurunan HAIs ini, antara lain : meningkatnya
kesadaran SDM dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi di
rumah sakit, perbaikan sarana dan prasarana PPIRS, atau pelaksanaan survey yang
tidak rutin, keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM terampil, rutin sehingga data yang
dihasilkan tidak akurat.
II. Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Dari beberapa program
yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan pelayanan PPI salah satunya adalah kegiatan survey secara rutin terhadap Infeksi Rumah Sakit (IRS)/ HAIs. RS Pemerintah di Jawa
Timur RS yang telah melaksanakan survey secara rutin terhadap IRS/ HAIs sebanyak
18 RS (34,62%). Sedangkan RS yang tidak melakukan
survey secara rutin terhadap IRS adalah sebagai berikut : 6 RS Khusus, 1 RSU Kelas A, 12 RSU
Kelas B dan 7 RSU kelas C. Disamping
survey
program yang sangat penting dalam mengeliminasi kuman dan memutus transmisi infeksi
adalah handhygiene (kebersihan tangan),
kebiasaan membersihkan tangan sangat efektif dalam menekan kejadian IRS/ HAIs.
RS Pemerintah yang
telah menjalankan program handhygiene berjumlah 23 RS baik RSU maupun RSK dan sisanya 29 RS belum
menjalankan program handhygiene. Tingkat kepatuhan terhadap tindakan handhygiene di RS se-Jawa Timur berdasarkan survey yang
telah dilakukan oleh RS terhadap petugas didapati bahwa terdapat SDM yang tidak
patuh terhadap program handhygiene secara
berturut-turut adalah SDM Lain (petugas administrasi, cleaning service, dll) 46%, dokter/ dokter gigi 29%, perawat/ bidan
6 %. Tetapi dari jumlah total RS pemerintah, terdapat 19% RS tidak melakukan survey kepatuhan terhadap
tindakan handhygiene.
III. Sarana dan Prasarana PPI
Sarana dan prasarana PPIRS muntlak harus disediakan oleh rumah sakit
untuk melindungi pasien, petugas dan keluarga pasien dari risiko penularan
infeksi. Salah satu sarana penting adalah ruang isolasi khusus untuk pasien
menular, terdapat 13 (25%) RSU Kelas A,B, dan C serta RS Khusus yang belum
mempunyai ruang isolasi untuk perawatan pasien menular dari total 52 RS. Adapun
dari RSU dan RSK yang telah mempunyai ruang isolasi, semuanya belum memenuhi standar
ruang isolasi dari Kementerian Kesehatan RI. Total jumlah tempat tidur ruang
isolasi di Jawa Timur adalah berturut-turut sebagai berikut : RSK 65 TT, RSU Kelas
A 48 TT, RSU Kelas B 168 TT dan RSU Kelas C
sebanyak 41 TT.
Kelengkapan lain yang juga penting dalam PPIRS adalah alat pelindung
diri (APD), dari data tahun 2013 masih banyak RS yang belum mempunyai APD dalam
jumlah yang cukup. Dari RSK hanya 1 RS (20%) yang mempunyai APD cukup, RSU
Kelas A terdapat 50% yang mempunyai kelengkapan APD, RSU Kelas B terdapat 18 (66,67%)
RS yang mempunyai APD lengkap bahkan kondisi RSU kelas C hanya terdapat 3
(23,07%) RS dengan APD yang cukup.
Sarana lain yang harus mendapat perhatian dalah pengelolaan sterilisasi
yang terpusat di satu tempat atau Central Sterile Supply Departement (CSSD) dan
terdapatnya Instalasi Pengelolaan Air dan Limbah (IPAL). Jika RSU kelas A sudah
mempunyai kedua sarana tersebut, berbeda dengan RSU Kelas B, yaitu hanya 82%
yang mempunyai IPAL dan baru 62% yang telah mengembangkan CSSD. RSU Kelas C
terdapat 78% RS yang mempunyai IPAL dan hanya 41% yang mempunyai sarana CSSD. Sedangkan
83% RSK telah mempunyai IPAL namun hanya 21% yang mempunyai CSSD.
IV.
Organisasi
PPIRS
Salah satu faktor penting agar program PPIRS bisa berjalan dengan
optimal adalah dibentuknya komite/ tim PPI, rata-rata RS di Jawa Timur telah
mempunyai komite/ tim PPI namun
peran komite/ tim PPIRS sebagai penggerak dalam pencegahan dan pengendalian
infeksi tidak berjalan optimal. Secara keseluruhan terdapat 11 (20%) RSU dan
RSK yang belum mempunyai komite/ tim PPI. Hal yang hampir sama juga terjadi
pada pemenuhan SDM dokter terlatih Infection
Prevention and Control Officer (IPCO) dan perawat terlatih Infection Prevention and Control Nurs (IPCN).
Jumlah RSK yang mampu memenuhi dokter terlatih IPCO hanya 1 RS (14,29%), RSU
Kelas A 2 RS (100%), RSU kelas B 19 (65,52%), RSU kelas C 5 (35,71%). Sedangkan
RSK yang mampu memenuhi SDM Perawat terlatih IPCN adalah 2 RS, RSU Kelas A 2 RS,
RS Kelas B 82,76 RS, RSU kelas C 6 RS (42,86%).
Dalam mendorong agar program PPIRS ini berjalan dengan optimal sehingga
angka kejadian infeksi di Rumah Sakit/ HAIs dapat diturunkan sangat diperlukan
adanya dukungan dari pimpinan rumah sakit. Di Jawa Timur masih sedikit direktur
RS yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pelaksanaan PPIRS. Berikut adalah
tabel yang menunjukkan dukungan direktur terhadap pelaksanaan pencegahan dan
pengendalian infeksi Rumah Sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar