Gunung Kelud memuntahkan simpanan
laharnya disaat yang tidak begitu tepat bagi kami. Satu hari sebelum Gunung
Kelud marah saya dan beberapa sahabat terbang menuju Belitung untuk suatu
keperluan. Tepat satu hari kami tiba di pulau indah nan elok tersebut, telephon
saya berdering dengan nada khusus yang memang saya setel bagi orang-orang yang
saya anggap penting. Betul, atasan saya mengabarkan jika Gunung Kelud meletus
dan saya bersama tim harus sudah menuju ke Gunung Kelud untuk mengurusi masalah
kesehatan terhadap masyarakat yang terkena dampak. Sebagai orang yang sok
merasa bertanggung jawab, saya berusaha untuk mencari solusi agar kami bisa
pulang secepatnya. Namun apa daya upaya kami nihil, semua maskapai penerbangan
menutup kegiatan penerbangannya di enam Bandar udara di Pulau Jawa karena efek
abu vulkanik Gunung Kelud masih memenuhi angkasa wilayah padat penduduk ini.
Kami tidak dapat berbuat banyak,
hanya bisa menunggu dan tetap menyelesaikan kegiatan di Belitung. Tepat hari
ketiga telephone genggam usang saya berbunyi, menyalak meminta untuk diangkat,
muncul sebuah nomor asing yang tidak tercatat pada memori telephon saya. Dengan
suara khas seperti ketika mengangkat telephon dari orang yang tidak saya kenal,
saya tempelkan rapat-rapat telephon ke telinga. Ternyata Sebuah penerbangan
mengabarkan bahwa besok pagi Bandar udara di Surabaya sudah dibuka dan pesawat
akan terbang subuh buta. Dengan hitungan matematika untuk mengejar pesawat
paling awal esok hari, kami memutuskan untuk memilih pesawat sore ini menuju
Jakarta untuk transit.
Tiba di Jakarta kami mencoba mencari
pesawat yang bisa terbang sore ini, lelahnya kaki tidak kami rasakan demi
menemukan pesawat yang bisa terbang sore ini. Seolah menjadi sprinter kelas
tinggi, kami berlari mencari semua maskapai penerbangan kearah Surabaya. Apa daya
lelahnya kaki-kaki kami tidak membuahkan hasil, tak ada satupun maskapai yang terbang
sore ini dengan alasan keselamatan penumpang. Malam mulai larut, lelah telah
menjalar keseluruh tubuh kami, sendi terasa kaku, bahkan badan serasa hanya
memiliki beberapa ruas tulang saja. Akhirnya kami putuskan untuk mencari tempat
untuk menginap yang dirasa murah dan terjangkau oleh saku-saku kami. Lagi-lagi
badan kami paksa untuk menambah aktifitas, pikiran kami peras untuk membantu
menentukan pilihan, arah mata angin kami gunakan sebagai penunjuk kemana
kaki-kaki kusut kami untuk melangkah. Namun sungguh memang nasib baik tak
berpihak kepada kami, semua tempat penginapan di sekitar Bandar Udara Soekarno
Hatta yang telah kami singgahi sudah tak bersisa.
Dinginnya lantai Bandar Udara Soekarno
Hatta memaksa kami untuk meluruskan kaki-kaki kami yang sudah mulai tak berrasa.
Bersama trolly yang setia menemani, kami memosisikan tubuh sekenanya. Jari-jari
tangan kaku kami tak henti-hentinya memainkan apapun yang ada di telephon
genggam kami masing-masing. Saya yang memang dikenal sok usil berusaha
mengganggu sahabat yang mulai tidak kuasa menahan beratnya kelopak mata. Mulai dari
lontaran kata-kata unik, menggelitiki bagian badan tertentu atau mengabadikan
posisi lucu selama kami melepas lelah. Hujan semakin menambah suasana aneh bagi
kami, bau uap tanah ikut membuat kami semakin lelah. Wajah kuyu, kulit terbakar
akibat sengatan matahari ketika kami jalan di pantai serta pakaian lusuh menjadi
sahabat yang mengantarkan kami sampai Surabaya, Kota tercinta.
Pagi itu sebelum matahari menampakkan
rautnya, saya dan tim reaksi cepat bencana sudah tergopoh-goboh memacu kendaraan
menuju Batu Malang. Berbekal beberapa lembar pakaian yang memenuhi tas kami
masing-masing, kami angkat dengan perasaan jiwa yang sok iklas dan sudah merasa
paling hebat. Hati dan pikiran kami dipenuhi oleh anggapan sebagai orang yang
paling hebat dan paling bisa membantu masyarakat yang terkena dampak bencana. Matahari
terlihat sudah tidak sabar untuk menemani langkah kami.
Mobil warna biru yang kami
tumpangi melaju menyusuri Kota Batu, sejuknya udara dan hujaunya pemandangan menyambut
kedatangan kami. Sudut kota dengan jalan berliku menjadi akhir perjalan. Sepatu
usang yang kami pakai mulai melangkah menuju rumah-rumah yang dijadikan sebagai
tempat pengungsian. Dengan mimik wajah yang dibuat bersahabat kami sapa para
pertugas, penduduk dan pengungsi. Muncul perasaan haru saat melihat dan menyapa
pengungsi, betapa Tuhan masih sayang kepada saya hingga tidak ikut merasakan
beban yang mereka rasakan. Setelah dirasa cukup menguasai medan pengungsian
kami putuskan untuk kembali ke pos kesehatan. Hujan yang turun ikut
mengantarkan kami menuju pos kesehatan. Terlihat air berwarna hitam meluncur deras
dari atap rumah-rumah penduduk, menandakan abu vulkanik dari Gunung Kelud masih
menutupi permukaan bumi.
Hari itu kami langsung memulai
tugas, namun perasaan yang sok “high class” yang menancap pada diri kami terasa
mulai mempermalukan kami. Betapa tidak, para penduduk di kampung Songgoriti
Kota Malang ini begitu hebat. Rumah-rumahnya direlakan untuk dijadikan tempat
pengungsian. Total terdapat 29 tempat pengungsian ada di daerah ini. Mereka bahu
membahu membantu pengungsi, mendirikan dapur umum dengan dana swadaya dari
masyarakat setempat. Bahkan mereka merelakan makanannya dikumpulkan untuk
diberikan kepada pengungsi saat mereka pertama kali datang, hingga mereka tidak
memedulikan diri merek sendiri. Selama masa tanggap darurat para pedagang dan
warung makan tidak akan menarik biaya kepada pengungsi yang membutuhkan. Bukan
hanya itu, rata-rata penduduk meluangkan waktunya khusus untuk membantu
pengungsi dengan tugas dan fungsi yang berlainan.
Bukan cuma kepada pengungsi,
kepada kamipun mereka sangat care, dan
sangat membantu tugas kami. mereka bersedia menjadikan salah satu dari tempat
tinggal mereka dijadikan pos kesehatan, bahkan segala kebutuhan kami dipenuhi
walaupun kami tidak meminta. Keiklasan nampak dari wajah-wajah lugu mereka.
Sungguh kami amat malu kepada
Tuhan. Tidak seberapa besar ujian Tuhan kepada kami jika dibandingkan dengan
mereka, tetapi kami sudah sering mengeluh. Tidak seberapa besar yang bisa kami
berikan kepada orang lain, kami sudah merasa congkak, sombong dan merasa hebat.
Untuk masyarakat di lereng Gunung Kelud, tetaplah bersabar pasti ada
hikmah besar dibalik bencana ini.
Untuk masyarakat Songgoriti dan Kota Batu, kami belajar banyak dari
semuanya. Anda adalah guru bijak bagi kami.