Sabtu, 22 Februari 2014

SISI INDAH ABU VULKANIK GUNUNG KELUD

Gunung Kelud memuntahkan simpanan laharnya disaat yang tidak begitu tepat bagi kami. Satu hari sebelum Gunung Kelud marah saya dan beberapa sahabat terbang menuju Belitung untuk suatu keperluan. Tepat satu hari kami tiba di pulau indah nan elok tersebut, telephon saya berdering dengan nada khusus yang memang saya setel bagi orang-orang yang saya anggap penting. Betul, atasan saya mengabarkan jika Gunung Kelud meletus dan saya bersama tim harus sudah menuju ke Gunung Kelud untuk mengurusi masalah kesehatan terhadap masyarakat yang terkena dampak. Sebagai orang yang sok merasa bertanggung jawab, saya berusaha untuk mencari solusi agar kami bisa pulang secepatnya. Namun apa daya upaya kami nihil, semua maskapai penerbangan menutup kegiatan penerbangannya di enam Bandar udara di Pulau Jawa karena efek abu vulkanik Gunung Kelud masih memenuhi angkasa wilayah padat penduduk ini.

Kami tidak dapat berbuat banyak, hanya bisa menunggu dan tetap menyelesaikan kegiatan di Belitung. Tepat hari ketiga telephone genggam usang saya berbunyi, menyalak meminta untuk diangkat, muncul sebuah nomor asing yang tidak tercatat pada memori telephon saya. Dengan suara khas seperti ketika mengangkat telephon dari orang yang tidak saya kenal, saya tempelkan rapat-rapat telephon ke telinga. Ternyata Sebuah penerbangan mengabarkan bahwa besok pagi Bandar udara di Surabaya sudah dibuka dan pesawat akan terbang subuh buta. Dengan hitungan matematika untuk mengejar pesawat paling awal esok hari, kami memutuskan untuk memilih pesawat sore ini menuju Jakarta untuk transit.

Tiba di Jakarta kami mencoba mencari pesawat yang bisa terbang sore ini, lelahnya kaki tidak kami rasakan demi menemukan pesawat yang bisa terbang sore ini. Seolah menjadi sprinter kelas tinggi, kami berlari mencari semua maskapai penerbangan kearah Surabaya. Apa daya lelahnya kaki-kaki kami tidak membuahkan hasil, tak ada satupun maskapai yang terbang sore ini dengan alasan keselamatan penumpang. Malam mulai larut, lelah telah menjalar keseluruh tubuh kami, sendi terasa kaku, bahkan badan serasa hanya memiliki beberapa ruas tulang saja. Akhirnya kami putuskan untuk mencari tempat untuk menginap yang dirasa murah dan terjangkau oleh saku-saku kami. Lagi-lagi badan kami paksa untuk menambah aktifitas, pikiran kami peras untuk membantu menentukan pilihan, arah mata angin kami gunakan sebagai penunjuk kemana kaki-kaki kusut kami untuk melangkah. Namun sungguh memang nasib baik tak berpihak kepada kami, semua tempat penginapan di sekitar Bandar Udara Soekarno Hatta yang telah kami singgahi sudah tak bersisa.

Dinginnya lantai Bandar Udara Soekarno Hatta memaksa kami untuk meluruskan kaki-kaki kami yang sudah mulai tak berrasa. Bersama trolly yang setia menemani, kami memosisikan tubuh sekenanya. Jari-jari tangan kaku kami tak henti-hentinya memainkan apapun yang ada di telephon genggam kami masing-masing. Saya yang memang dikenal sok usil berusaha mengganggu sahabat yang mulai tidak kuasa menahan beratnya kelopak mata. Mulai dari lontaran kata-kata unik, menggelitiki bagian badan tertentu atau mengabadikan posisi lucu selama kami melepas lelah. Hujan semakin menambah suasana aneh bagi kami, bau uap tanah ikut membuat kami semakin lelah. Wajah kuyu, kulit terbakar akibat sengatan matahari ketika kami jalan di pantai serta pakaian lusuh menjadi sahabat yang mengantarkan kami sampai Surabaya, Kota tercinta.

Pagi itu sebelum matahari menampakkan rautnya, saya dan tim reaksi cepat bencana sudah tergopoh-goboh memacu kendaraan menuju Batu Malang. Berbekal beberapa lembar pakaian yang memenuhi tas kami masing-masing, kami angkat dengan perasaan jiwa yang sok iklas dan sudah merasa paling hebat. Hati dan pikiran kami dipenuhi oleh anggapan sebagai orang yang paling hebat dan paling bisa membantu masyarakat yang terkena dampak bencana. Matahari terlihat sudah tidak sabar untuk menemani langkah kami.

Mobil warna biru yang kami tumpangi melaju menyusuri Kota Batu, sejuknya udara dan hujaunya pemandangan menyambut kedatangan kami. Sudut kota dengan jalan berliku menjadi akhir perjalan. Sepatu usang yang kami pakai mulai melangkah menuju rumah-rumah yang dijadikan sebagai tempat pengungsian. Dengan mimik wajah yang dibuat bersahabat kami sapa para pertugas, penduduk dan pengungsi. Muncul perasaan haru saat melihat dan menyapa pengungsi, betapa Tuhan masih sayang kepada saya hingga tidak ikut merasakan beban yang mereka rasakan. Setelah dirasa cukup menguasai medan pengungsian kami putuskan untuk kembali ke pos kesehatan. Hujan yang turun ikut mengantarkan kami menuju pos kesehatan. Terlihat air berwarna hitam meluncur deras dari atap rumah-rumah penduduk, menandakan abu vulkanik dari Gunung Kelud masih menutupi permukaan bumi.

Hari itu kami langsung memulai tugas, namun perasaan yang sok “high class” yang menancap pada diri kami terasa mulai mempermalukan kami. Betapa tidak, para penduduk di kampung Songgoriti Kota Malang ini begitu hebat. Rumah-rumahnya direlakan untuk dijadikan tempat pengungsian. Total terdapat 29 tempat pengungsian ada di daerah ini. Mereka bahu membahu membantu pengungsi, mendirikan dapur umum dengan dana swadaya dari masyarakat setempat. Bahkan mereka merelakan makanannya dikumpulkan untuk diberikan kepada pengungsi saat mereka pertama kali datang, hingga mereka tidak memedulikan diri merek sendiri. Selama masa tanggap darurat para pedagang dan warung makan tidak akan menarik biaya kepada pengungsi yang membutuhkan. Bukan hanya itu, rata-rata penduduk meluangkan waktunya khusus untuk membantu pengungsi dengan tugas dan fungsi yang berlainan.

Bukan cuma kepada pengungsi, kepada kamipun mereka sangat care, dan sangat membantu tugas kami. mereka bersedia menjadikan salah satu dari tempat tinggal mereka dijadikan pos kesehatan, bahkan segala kebutuhan kami dipenuhi walaupun kami tidak meminta. Keiklasan nampak dari wajah-wajah lugu mereka.
Sungguh kami amat malu kepada Tuhan. Tidak seberapa besar ujian Tuhan kepada kami jika dibandingkan dengan mereka, tetapi kami sudah sering mengeluh. Tidak seberapa besar yang bisa kami berikan kepada orang lain, kami sudah merasa congkak, sombong dan merasa hebat.

Untuk masyarakat di lereng Gunung Kelud, tetaplah bersabar pasti ada hikmah besar dibalik bencana ini.

Untuk masyarakat Songgoriti dan Kota Batu, kami belajar banyak dari semuanya. Anda adalah guru bijak bagi kami.

Tidak ada komentar: