Jumat, 23 Agustus 2013

Kesehatan Kerja Informal

Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia berupaya untuk mengikuti arus globalisasi dunia agar dapat menjadi bangsa yang lebih maju. Konsekwensi yang didapat salah satunya adalah masyarakatnya berupaya lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga kelangsungan hidupnya dapat terjaga. Untuk mencukupi kebutuhan hidup ini maka masyarakat dituntut untuk melakukan aktifitas agar mendapatkan upah atau imbalan. Aktifitas inilah yang dinamakan aktifitas bekerja.

Orang yang bekerja kemudian disebut sebagai pekerja. Pada umumnya pekerja dibagi bagi menjadi dua yaitu sektor informal  dan formal. Masyarakat yang bekerja sendiri, berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap 9buruh tidak berbayar), pekerja bebas dan pekerja keluarga yang tak berbayar adalah pekerja sektor informal. Biasanya pekerja informal bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisik. Di Indonesia biasanya mereka yang berkecimpung pada bidang pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan, tenaga produksi, pedagang, penarik becak, kuli angkut dan pekerja kasar lainnya bahkan sampai pengamen dan anak jalanan. Sedangkan masyarakat yang bekerja di perkantoran dan pengusaha dengan buruh tetap atau karyawan kemudian dinamakan sebagai pekerja formal.

Untuk memudahkan cara membedakan pekerja formal dan informal, menurut ILO (2002) terdapat beberapa ciri khusus pekerja sektor informal yaitu bekerja pada diri sendiri, unit usaha berskala kecil, pekerja bekerja secara intensif dengan alat seadanya, menggunakan bahan murah atau bahan-bahan yang telah menjadi sampah,kualitas pekerjaan sering terstandar rendah , jam dan gaji tidak teratur,harga sangat jarang harga pas atau berlaku tawar menawar, pekerjaan sering dilakukan di rumah dan di jalan, jarang mendapat bantuan dari pemerintah, sering tidak berbadan hukum, banyak pekerja berjenis kelamin perempuan dan anak-anak. Sedang distribusi pekerjaan di jalan-jalan maupun kios-kios kecil, transportasi local, industri berskala kecil seperti kayu, logam, tekstil, kerajinan, pekerjaan jasa, penjual makanan, pakaian dan buah-buahan.

Jika di negara maju perbandingan pekerja formal lebih tinggi dibandingkan dengan sektor informal, lain hal nya dengan Indonesia yang pekerja informalnya jauh diatas sektor formal. Menurut Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2008 pekerja perempuan di sektor formal adalah 34.08% sedangkan sektor informal 65.92%, pekerja laki-laki disektor formal sebanyak 26.46% dan informal 73.54%. Dengan perbandingan yang tidak jauh berubah dari tahun 2008 menurut Badan Pengelola Statistik (BPS) jumlah masyarakat yang bekerja tahun 2011 adalah 111,3 juta orang, jumlah ini meningkat 3,9 juta dibandingkan dengan Februari 2010.

Urusan kesehatan, pencegahan kecelakaan dan penyakit di sektor formal sudah lebih terkoordinasi dengan baik, adanya program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di perusahaan dan perkantoran pemerintah serta dijaminnya pelayanan kesehatan oleh beberapa asuransi membuat sektor formal lebih terjamin kesehatannya disbanding sektor informal. Tetapi sektor informal masih butuh pengelolaan masalah kesehatan oleh pihak-pihak berwenang. Saat ini pihak yang yang seharusnya memperhatikan sektor ini masih enggan untuk menjamah, seandainya ada beberapa bidang pemerintahan yang sudah berupaya untuk mengelola namun hasilnya masih minimal dirasakan oleh masyarakat luas.

Negara sudah mengamanatkan melalui UUD 1945 Psal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini diperinci oleh Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan Bab XII Kesehatan Kerja pasal 164 ayat (2) menyebutkan bahwa Upaya Kesehatan Kerja meliputi pekerja sektor formal dan informal.

Terlepas dari siapa yang lebih bertanggung jawab untuk memikul tugas ini, ada  beberapa faktor yang membuat optimistis beberapa pihak. Sudah dibentuknya regulasi dibidang kesehatan kerja, semakin tersebar nya jaringan pelayanan kesehatan, munculnya beberapa sumber dana sebagai dukungan kegiatan dan mulainya pembinaan yang terstruktur dan berjenjang. Beberapa uapa juga dapat dilaksanakan karena adanya peluang antara lain adanya dukungan dari pemerintah dan swasta, banyaknya lintas sektor yang terlibat dan dukungan kredit usaha mikro.

Namun demikian masih terdapat kelemahan yang muncul, yaitu lemahnya sosialisasi dan advokasi, terbatasnya sumber daya manusia yang sanggup bertindak sebagai volunteer upaya kesehatan pekerja informal, dan tentunya alas an klasik yang sering menjadi hambatan negeri ini yaitu kurangnya dana untuk operasional.

Jika semua masyarakat terus berpangku tangan menunggu keajaiban dating, maka kesehatan pekerja informal tentunya tidak akan tercapai. Pemerintah sebagai pemegang otoritas dan penanggung jawab utama hendaknya sudah membuat kebijakan terkait pengaturan pelayanan kesehatan sektor informal, kerja sama dan saling bahu-membahu lintas sektor menuju tercapainya kesehatan sektor informal yang optimal, Mulai dari Kementerian Dalam Negeri, Keuangan, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Koperasi dan UKM, Perindustrian, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, ESDM, Sosial, Perhubungan sampai Bappenas harus duduk bersama untuk membicarakan jalan terbaik mengelola kesehatan masyarakat yang berada di sektor informal. Tidak akan mungkin berhasil dengan baik jika kelembagaan dan kementerian berjalan dengan arah yang berbeda-beda. Selanjutnya pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota juga harus bertindak melaksanakan tugas dekonsentrasi serta menyaipakan regulasi pelaksanaannya.

Sebagai teknik pelaksanaanya kelompok kerja informal harus dilakukan identifikasi di suatu wilayah , pemetaan , pembentukan wadah dan tentunya pengembangan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan yang konsisten, persisten dan kontinyu.


(Diambil dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: