Sebagai negara yang sedang berkembang,
Indonesia berupaya untuk mengikuti arus globalisasi dunia agar dapat menjadi
bangsa yang lebih maju. Konsekwensi yang didapat salah satunya adalah
masyarakatnya berupaya lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga
kelangsungan hidupnya dapat terjaga. Untuk mencukupi kebutuhan hidup ini maka
masyarakat dituntut untuk melakukan aktifitas agar mendapatkan upah atau
imbalan. Aktifitas inilah yang dinamakan aktifitas bekerja.
Orang yang bekerja kemudian
disebut sebagai pekerja. Pada umumnya pekerja dibagi bagi menjadi dua yaitu
sektor informal dan formal. Masyarakat
yang bekerja sendiri, berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap 9buruh tidak
berbayar), pekerja bebas dan pekerja keluarga yang tak berbayar adalah pekerja
sektor informal. Biasanya pekerja informal bekerja dengan mengandalkan kekuatan
fisik. Di Indonesia biasanya mereka yang berkecimpung pada bidang pertanian,
kehutanan, perburuan, perikanan, tenaga produksi, pedagang, penarik becak, kuli
angkut dan pekerja kasar lainnya bahkan sampai pengamen dan anak jalanan.
Sedangkan masyarakat yang bekerja di perkantoran dan pengusaha dengan buruh
tetap atau karyawan kemudian dinamakan sebagai pekerja formal.
Untuk memudahkan cara membedakan
pekerja formal dan informal, menurut ILO (2002) terdapat beberapa ciri khusus
pekerja sektor informal yaitu bekerja pada diri sendiri, unit usaha berskala
kecil, pekerja bekerja secara intensif dengan alat seadanya, menggunakan bahan
murah atau bahan-bahan yang telah menjadi sampah,kualitas pekerjaan sering
terstandar rendah , jam dan gaji tidak teratur,harga sangat jarang harga pas
atau berlaku tawar menawar, pekerjaan sering dilakukan di rumah dan di jalan,
jarang mendapat bantuan dari pemerintah, sering tidak berbadan hukum, banyak
pekerja berjenis kelamin perempuan dan anak-anak. Sedang distribusi pekerjaan
di jalan-jalan maupun kios-kios kecil, transportasi local, industri berskala
kecil seperti kayu, logam, tekstil, kerajinan, pekerjaan jasa, penjual makanan,
pakaian dan buah-buahan.
Jika di negara maju perbandingan
pekerja formal lebih tinggi dibandingkan dengan sektor informal, lain hal nya
dengan Indonesia yang pekerja informalnya jauh diatas sektor formal. Menurut
Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2008 pekerja perempuan di
sektor formal adalah 34.08% sedangkan sektor informal 65.92%, pekerja laki-laki
disektor formal sebanyak 26.46% dan informal 73.54%. Dengan perbandingan yang
tidak jauh berubah dari tahun 2008 menurut Badan Pengelola Statistik (BPS)
jumlah masyarakat yang bekerja tahun 2011 adalah 111,3 juta orang, jumlah ini
meningkat 3,9 juta dibandingkan dengan Februari 2010.
Urusan kesehatan, pencegahan
kecelakaan dan penyakit di sektor formal sudah lebih terkoordinasi dengan baik,
adanya program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di perusahaan dan
perkantoran pemerintah serta dijaminnya pelayanan kesehatan oleh beberapa
asuransi membuat sektor formal lebih terjamin kesehatannya disbanding sektor
informal. Tetapi sektor informal masih butuh pengelolaan masalah kesehatan oleh
pihak-pihak berwenang. Saat ini pihak yang yang seharusnya memperhatikan sektor
ini masih enggan untuk menjamah, seandainya ada beberapa bidang pemerintahan
yang sudah berupaya untuk mengelola namun hasilnya masih minimal dirasakan oleh
masyarakat luas.
Negara sudah mengamanatkan
melalui UUD 1945 Psal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini diperinci oleh
Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan Bab XII Kesehatan Kerja pasal
164 ayat (2) menyebutkan bahwa Upaya Kesehatan Kerja meliputi pekerja sektor
formal dan informal.
Terlepas dari siapa yang lebih
bertanggung jawab untuk memikul tugas ini, ada
beberapa faktor yang membuat optimistis beberapa pihak. Sudah
dibentuknya regulasi dibidang kesehatan kerja, semakin tersebar nya jaringan
pelayanan kesehatan, munculnya beberapa sumber dana sebagai dukungan kegiatan
dan mulainya pembinaan yang terstruktur dan berjenjang. Beberapa uapa juga
dapat dilaksanakan karena adanya peluang antara lain adanya dukungan dari
pemerintah dan swasta, banyaknya lintas sektor yang terlibat dan dukungan
kredit usaha mikro.
Namun demikian masih terdapat
kelemahan yang muncul, yaitu lemahnya sosialisasi dan advokasi, terbatasnya
sumber daya manusia yang sanggup bertindak sebagai volunteer upaya kesehatan pekerja informal, dan tentunya alas an
klasik yang sering menjadi hambatan negeri ini yaitu kurangnya dana untuk
operasional.
Jika semua masyarakat terus
berpangku tangan menunggu keajaiban dating, maka kesehatan pekerja informal
tentunya tidak akan tercapai. Pemerintah sebagai pemegang otoritas dan
penanggung jawab utama hendaknya sudah membuat kebijakan terkait pengaturan
pelayanan kesehatan sektor informal, kerja sama dan saling bahu-membahu lintas
sektor menuju tercapainya kesehatan sektor informal yang optimal, Mulai dari
Kementerian Dalam Negeri, Keuangan, Kesehatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Koperasi dan UKM, Perindustrian, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Kehutanan,
ESDM, Sosial, Perhubungan sampai Bappenas harus duduk bersama untuk
membicarakan jalan terbaik mengelola kesehatan masyarakat yang berada di sektor
informal. Tidak akan mungkin berhasil dengan baik jika kelembagaan dan
kementerian berjalan dengan arah yang berbeda-beda. Selanjutnya pemerintah
provinsi dan kabupaten/ kota juga harus bertindak melaksanakan tugas
dekonsentrasi serta menyaipakan regulasi pelaksanaannya.
Sebagai teknik pelaksanaanya
kelompok kerja informal harus dilakukan identifikasi di suatu wilayah ,
pemetaan , pembentukan wadah dan tentunya pengembangan upaya pemberdayaan
masyarakat melalui pembinaan yang konsisten, persisten dan kontinyu.
(Diambil dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar